Nama : Nopriyanto
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Ekosistem
air tawar merupakan ekosistem air yang relatif kecil dimuka bumi jika
dibandingkan dengan ekosistem darat dan lautan. Ekosistem air tawar memiliki
kepentingan yang sangat berarti dalam kehidupan manusia karena ekosistem air
tawar merupakan sumber paling praktis dan murah untuk memenuhi kepentingan
domestik dan industri (Odum, 1993). Ekosistem air tawar
secara umum dapat dibagi 2 yaitu perairan lentik (perairan tenang) misalnya danau, rawa, waduk dan
sebagainya dan perairan lotik (perairan berarus) misalnya sungai (Barus, 2001 dalam Sinaga, 2009). Ekosistem air tawar
yang memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia adalah sungai.
Menurut Suwondo, dkk. (2004) Sungai
merupakan suatu bentuk ekositem aquatic yang mempunyai peran penting dalam daur
hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area)
bagi daerah sekitarnya. Berdasarkan cara terbentuknya, sungai
dikelompokkan menjadi sungai alami dan sungai buatan. Sungai alami terbentuk
oleh sumber air tanah/air permukaan tanah yang mengalir secara terus
menerus sedangkan sungai buatan
terbentuk karena adanya kepentingan manusia, dengan kata lain sungai buatan
adalah sungai yang dibuat oleh manusia. Contoh sungai buatan yang mempunyai
peran penting bagi penduduk di sekitar alirannya adalah sungai jalur 25.
Sungai jalur 25
merupakan anak sungai Sugihan. Sungai jalur 25 memiliki panjang 11.600 m dengan
lebar 30-40 m. Sungai tersebut melewati beberapa desa yaitu Desa Margatani,
Desa Badar Jaya, Desa Muktijaya, dan Desa Srijaya Baru.
Sungai jalur 25
dimanfaatkan oleh penduduk untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari, sebagai sarana transportasi serta untuk
keperluan irigasi lahan pertanian. Sungai jalur 25 mengalirkan limbah (bahan
pencemar) yang berasal dari aktifitas penduduk disekitar alirannya, sehingga secara langsung maupun tidak langsung akan menyebabkan terjadinya
gangguan dan perubahan kualitas fisik, kimia dan organime di
dalamnya termasuk bentos (Suwondo, dkk., 2004).
Bentos adalah hewan yang hidup di dasar perairan. Bentos
adalah hewan yang paling menderita jika terjadi pencemaran di sebuah perairan,
hal ini dikarenakan bentos relatif tidak
mudah untuk bermigrasi (Sinaga, 2009). Bentos adalah hewan-hewan yang mampu hidup dengan jumlah dan jenis
nutrien yang terbatas sekaligus bersifat toleran (Isnaeni, 2002). Bentos yang relatif mudah
diidentifikasi dan peka terhadap perubahan lingkungan perairan adalah
jenis-jenis yang termasuk dalam kelompok invertebrata makro (makrozoobentos).
Makrozoobentos merupakan kelompok hewan yang memiliki
peranan penting dalam ekosistem perairan sehubungan dengan peranannya sebagai
organisme kunci dalam jaring makanan (Darojah, 2005). Makrozoobentos dikatakan
sebagai organisme kunci dalam jaring makanan di ekosistem perairan karena
makrozoobentos menyediakan “bahan makanan” bagi organisme lain. Makrozoobentos berperan
merombak daun, ranting, bunga, kulit batang, dan akar tanaman (sebagai dekomposer).
Makrozoobentos di suatu perairan dapat dijadikan indikator kualitas dari
lingkungan perairan karena dapat mencerminkan adanya perubahan
faktor-faktor lingkungan termasuk tingkat pencemaran lingkungan dari waktu ke
waktu (Oey, 1978 dalam Maulana, 2010).
Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan
mengenai kelimpahan dan keanekaagaman makrozoobentos.
Penelitian
makrozoobentos yang dilakukan oleh
Darojah (2005), Silviawaty (1996), Sinaga (2009) dan Tarigan (2009) menunjukkan
bahwa kelimpahan makrozoobentos dipengaruhi oleh kualitas perairannya. Selain itu, hasil penelitian-penelitian tersebut juga menunjukkan adanya
interaksi antara kegiatan manusia terkait dengan pencemaran lingkungan perairan
yang merupakan habitat makrozoobentos.
Pencemaran lingkungan terkait kegiatan manusia merupakan
konsep yang dapat dikembangkan dalam pelajaran biologi. Konsep tersebut
dipelajari di SMA kelas X. Berdasarkan peranan makrozoobentos, kondisi sungai
jalur 25, dan pentingnya konsep pencemaran lingkungan berdasarkan kegiatan
manusia, oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian tentang “Kelimpahan Makrozoobentos di Sungai Jalur
25 Kecamatan Air Sugihan OKI dan Sumbangannya Pada Pembelajaran Biologi di
SMA”.
1.2.
Perumusan
Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka timbul suatu masalah
yaitu, bagaimanakah kelimpahan makrozoobentos di Sungai Jalur 25 Kecamatan Air
Sugihan Kabupaten OKI?
1.3.
Batasan Masalah
Adapun batasan masalah dalam penelitian ini adalah :
1.
Hewan bentos yang
akan diamati meliputi bentos yang tersaring pada mata saring 0,5 mm
2.
Parameter yang akan
diteliti adalah keanekaragaman jenis, kemerataan dan dominansi makrozoobentos
di sungai jalur 25.
3.
Parameter
lingkungan fisio-kimia perairan yang akan diukur adalah suhu air, pH air,
konsentrasi oksigen terlarut, kecerahan air, jenis substrat dasar perairan dan
kedalaman sungai.
4.
Lokasi
pengambilan sampel berada pada aliran utama sungai jalur 25 (hulu sampai
hilir).
1.4.
Tujuan
Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
untuk mengetahui kelimpahan makrozoobentos di Sungai Jalur 25?
1.5.
Manfaat
Penelitian
Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat
antara lain:
1.
Memberi informasi
tentang keanekaragaman jenis makrozoobentos di Sungai Jalur 25
2.
Memberi informasi
untuk kepentingan bahan studi makrozoobentos bagi mata pelajaran biologi di
Sekolah Menengah Atas pada Kompetensi Dasar
4.2. Menjelaskan
keterkaitan antara kegiatan manusia dengan masalah perusakan/pencemaran
lingkungan dan pelestarian lingkungan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Ekosistem Perairan
Ekosistem merupakan tingkat organisasi yang lebih
tinggi dari komunitas atau merupakan kesatuan dari suatu komunitas dengan
lingkungannya dimana terjadi antar hubungan. Menurut Susanto (2000) ekosistem
adalah suatu unit lingkungan hidup yang didalamnya terdapat hubungan fungsional
yang sistematik antara sesama makhluk hidup dan antara makhluk hidup dengan
komponen lingkungan abiotik.
Ekosistem air tawar merupakan ekosistem dengan
habitatnya yang sering digenangi air tawar yang kaya akan mineral dengan pH sekitar
6, kondisi permukaan air tidak selalu tetap, ada kalanya naik turun, bahkan
suatu ketika dapat pula mengering.
Habitat air tawar menempati daerah yang relatif lebih
kecil pada permukaan bumi, dibandingkan dengan habitat laut dan daratan.
Habitat air tawar mempunyai peran penting dalam kehidupan manusia karena
habitat air tawar merupakan sumber air yang paling praktis dan murah untuk
kepentingan domestik dan industri.
Di dalam kolam, sungai, rawa dan danau berdasarkan
daerah atau subhabitatnya terdapat tiga zona yaitu, zona littoral, limnetik dan
profundal. Zona littoral merupakan daerah perairan yang dangkal dengan
penetrasi cahaya sampai dasar. Zona limnetik adalah daerah air terbuka sampai
kedalaman penetrasi cahaya yang efektif, pada umumnya tingkat ini berada di
mana kedalaman di mana intensitas cahaya penuh. Sedangkan zona profundal
merupakan bagian dasar dan daerah air yang dalam dan tidak tercapai oleh
penetrasi cahaya efektif. Tidak ada batasan tegas yang dapat dibuat antara
danau dan kolam. Ada perbedaan kepentingan secara ekologis, selain dari ukuran
keseluruhan. Dalam danau, zona limnetik dan profundal, relatif besar ukurannya
dibanding zona litoral. Bila sifat-sifat kebalikan biasanya disebut kolam, jadi
rawa adalah daerah dengan ciri antara danau dan kolam (Ngabekti, 2004).
Komunitas di zona profundal mempunyai sifat yang
berbeda. Karena tidak ada cahaya, penghuni daerah profundal tergantung pada
zona limnetik dan litoral untuk bahan makanan dasar. Sebaliknya zona profundal
memberikan nutrisi yang telah di daur ulang yang terbawa oleh arus dan binatang
yang berenang ke zona lain. Keanekaragaman kehidupan zona profundal, seperti
dapat diduga tidak besar, tetapi apa yang ada di situ penting. Komunitas utama
terdiri dari bakteri dan jamur, yang terutama banyak di pertemuan antara air
dan lumpur dimana bahan organik tertimbun, dan kelompok binatang konsumen dalam
bentuk bentos seperti cacing darah atau larva chironomid yang mengandung
hemoglobin dan annelida, serta kerang kecil dari beberapa keluarga sphaeridae.
Cacing annelida yang merah sering bertambah jumlahnya di air yang tercemar
dengan buangan domestik, cacing ini disebut cacing lumpur. Organisme di dalam
air berdasarkan bentuk kehidupannya dapat dibagi menjadi 5 yaitu, plankton,
perifiton, nekton, neuston dan bentos. Bentos merupakan organisme yang hidup di
dalam atau atas dasar dari cekungan perairan.
2.2.
Keanekaragaman Jenis Makrozoobentos
Menurut Krebs (1985), keanekaragaman jenis yang paling
sederhana adalah menghitung jumlah jenis (kekayaan jenis). keanekaragaman jenis
adalah gabungan antara jumlah jenis dan jumlah individu masing-masing jenis
dalam komunitas. Sedangkan pengertian lain keanekaragaman jenis adalah sebagai
suatu karakteristik tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologisnya (
Soegianto, 1994).
Bentos sering diisebut sebagai organisme-organisme
yang hidup pada dasar perairan, Menurut Odum (1993) bentos adalah organisme
yang melekat atau beristirahat pada dasar atau hidup di dasar endapan.
Berdasarkan ukurannya, hewan bentos yang tersaring dengan saringan bentos
berukuran 0,5 mm disebut makrobentos (Setyobudiandi, 1997).
Zoobentos adalah hewan yang melekat atau beristirahat
pada dasar atau hidup di dasar endapan (Odum, 1993). Hewan ini merupakan
organisme kunci dalam jaring makanan karena dalam sistem perairan berfungsi
sebagai pedator, suspension feeder, detritivor, scavenger dan parasit.
Makrobentos merupakan salah satu kelompok penting dalam ekosistem perairan.
Pada umumnya mereka hidup sebagai suspension feeder, pemakan detritus, karnivor
atau sebagai pemakan plankton.
Berdasarkan cara makannya, makrobentos dikelompokkan
menjadi 2.
a.
Filter feeder, yaitu hewan bentos yang mengambil makanan dengan
menyaring air.
b.
Deposit feeder, yaitu hewan bentos yang mengambil makanan dalam
substrat dasar.
Kelompok pemakan bahan tersuspensi (filter feeder)
umumnya tedapat dominan disubstrat berpasir misalnya moluska-bivalva, beberapa
jenis echinodermata dan crustacea. Sedangkan pemakan deposit banyak tedapat
pada substrat berlumpur seperti jenis polychaeta.
Berdasarkan keberadaannya di perairan, makrobentos
digolongkan menjadi kelompok epifauna, yaitu hewan bentos yang hidup melekat
pada permukaan dasar perairan, sedangkan hewan bentos yang hidup didalam dasar
perairan disebut infauna. Tidak semua hewan dasar hidup selamanya sebagai
bentos pada stadia lanjut dalam siklus hidupnya. Hewan bentos yang mendiami
daerah dasar misalnya, kelas polychaeta, echinodermata dan moluska mempunyai
stadium larva yang seringkali ikut terambil pada saat melakukan pengambilan
contoh plankton.
Komunitas bentos dapat juga dibedakan berdasarkan
pergerakannya, yaitu kelompok hewan bentos yang hidupnya menetap (bentos sesile),
dan hewan bentos yang hidupnya berpindah-pindah (motile). Hewan bentos
yang hidup sesile seringkali digunakan sebagai indikator kondisi perairan
(Setyobudiandi, 1997).
Distribusi bentos dalam ekonomi perairan alam
mempunyai peranan penting dari segi aspek kualitatif dan kuantitatif. Untuk
distribusi kualitatif, keadaan jenis dasar berbeda terdapat aksi gelombang dan
modifikasi lain yang membawa keanekaragaman fauna pada zona litoral. Zona
litoral mendukung banyak jumlah keanekaragaman fauna yang lebih besar daripada
zona sublitoral dan profundal. Populasi litoral dan sublitoral, khususnya
bentuk mikroskopik. Terdapat banyak serangga dan moluska, dua kelompok ini
biasanya sebanyak 70% atau lebih dari jumlah komponen spesies yang ada. Dengan
peningkatan kedalaman yang melebihi zona litoral, jumlah spesies bentik
biasanya berkurang. Pengaruh perbedaan jenis substrat dasar dimodifikasi oleh
massa alga filamen yang menutupi luas area.
Jenis makrozoobentos yang dapat di ketemukan di
perairan air tawar antara lain dari kelompok Gastropoda (Pratiwi dkk, 2004)
berupa Siput gondang (Pila scutata), P. Polita, P. Ampullacea, Siput
tanpa pintu, Siput berpintu, Cacing
pipih, Kijing, Kerang Limpet air, tawar, dan Cacing celur
sedangkan Beberapa contoh makrozoobentos kelompok Oligochaeta dan Gastropoda
yaitu; Larva chironomid (Tendipes), Larva panthom (Chaoborus), Tubife
, Kerang pea-shell (Musculium)
Keragaman spesies dapat diambil untuk menandai jumlah
spesies dalam suatu daerah tertentu atau sebagai jumlah spesies diantara jumlah
total individu dari seluruh spesies yang ada. Hubungan ini dapat dinyatakan
secara numerik sebagai Indeks Keanekaragaman. Jumlah spesies dalam suatu
komunitas adalah penting dari segi ekologi karena keragaman spesies tampaknya
bertambah bila komunitas menjadi semakin stabil. Gangguan parah menyebabkan
penurunan yang nyata dalam keragaman. Keragaman yang besar juga mencirikan
ketersediaan sejumlah besar ceruk (Michael, 1995 ).
2.3.
Faktor-
faktor lingkungan yang mempengaruhi bentos
Sebagaimana kehidupan biota lainnya, penyebaran jenis
dan populasi komunitas bentos ditentukan oleh sifat fisik, kimia dan biologi
perairan. Sifat fisik perairan seperti pasang surut, kedalaman, kecepatan arus,
kekeruhan atau kecerahan, substrat dasar dan suhu air. Sifat kimia antara lain
kandungan oksigen dan karbondioksida terlarut, pH, bahan organik, dan kandungan
hara berpengaruh terhadap hewan bentos. Sifat-sifat fisika-kimia air
berpengaruh langsung maupun tidak langsung bagi kehidupan bentos. Perubahan
kondisi fisika-kimia suatu perairan dapat menimbulkan akibat yang merugikan
terhadap populasi bentos yang hidup di ekosistem perairan.
Oksigen adalah gas yang amat penting bagi hewan.
Perubahan kandungan oksigen terlarut di lingkungan sangat berpengaruh terhadap
hewan air. Kebutuhan oksigen bervariasi, tergantung oleh jenis, stadia, dan
aktivitas. Kandungan oksigen terlarut mempengaruhi jumlah dan jenis makrobentos
di perairan. Semakin tinggi kadar O2 terlarut maka jumlah bentos
semakin besar.
Nilai pH menunjukkan derajad keasaman atau kebasaan
suatu perairan yang dapat mempengaruhi kehidupan tumbuhan dan hewan air. pH
tanah atau substrat akan mempengaruhi perkembangan dan aktivitas organisme
lain. Bagi hewan bentos pH berpengaruh terhadap menurunnya daya stress.
Penetrasi cahaya seringkali dihalangi oleh zat yang
terlarut dalam air, membatasi zona fotosintesis dimana habitat akuatik dibatasi
oleh kedalaman. Kekeruhan, terutama disebabkan oleh lumpur dan partikel yang
mengendap, seringkali penting sebagai faktor pembatas. Kekeruhan dan kedalaman
air pempunyai pengaruh terhadap jumlah dan jenis hewan bentos.
Tipe substrat dasar ikut menentukan jumlah dan jenis
hewan bentos disuatu perairan (Susanto, 2000). Tipe substrat seperti rawa tanah
dasar berupa lumpur. Macam dari substrat sangat penting dalam perkembangan
komunitas hewan bentos. Pasir cenderung memudahkan untuk bergeser dan bergerak
ke tempat lain. Substrat berupa lumpur biasanya mengandung sedikit oksigen dan
karena itu organisme yang hidup didalamnya harus dapat beradaptasi pada keadaan
ini.
Perubahan tekanan air ditempat-tempat yang berbeda
kedalamannya sangat berpengaruh bagi kehidupan hewan yang hidup di dalam air.
Perubahan tekanan di dalam air sehubungan dengan perubahan kedalaman adalah
sangat besar. Faktor kedalaman berpengaruh terhadap hewan bentos pada jumlah
jenis, jumlah individu, dan biomass. Sedangkan faktor fisika yang lain adalah
pasang surut perairan, hal ini berpengaruh pada pola penyebaran hewan bentos
(Susanto, 2000).
Faktor biologi perairan juga merupakan faktor penting
bagi kelangsungan hidup masyarakat hewan bentos sehubungan dengan peranannya
sebagai organisme kunci dalam jaring makanan, sehingga komposisi jenis hewan
yang ada dalam suatu perairan seperti kepiting, udang, ikan melalui predasi
akan mempengaruhi kelimpahan bentos.
2.4. Spesies
Indikator
Keberadaan spesies tertentu,
khususnya jika kelimpahannya cukup memadai, menunjukkan bahwa tuntutan
lingkungan terpenuhi. Walaupun demikian ketidak beradaannya tidak harus
menunjukan hal yang sebaliknya, contoh satu spesies bisa secara kompetitif terpisah
dari suatu habitat tertentu, karena spesies yang lain. Namun dalam
batasan tertentu, keberadaan dan ketiadaan kelimpahan relatif dari spesies bisa
dipakai sebagai indikator kualitas lingkungan. Perubahan-perubahan dalam
keberadaan, ketiadakberadaan kelimpahan (apakah terjadi secara mendadak atau
berangsur-angsur), bisa mengimplikasikan suatu perubahan yang sebanding dalam
kondisi-kondisi lingkungan.
Secara ideal, semua anggota dari
sebuah komunitas haruslah dipandang sebagai indikator potensial akan kualitas
air dan dicantumkan dalam peragaan monitoring biologis. Dalam prakteknya,
kelompok-kelompok seperti : bakteri, alga, protozoa dan mikroinvertebrata butuh
metode penyampelan yang berbeda dan perlu keahlian taksonomis yang baik.
Kelompok yang umumnya dikerahkan sebagai indikator adalah fauna
makroinvertebrata (makrozoobentos). Mereka punya banyak karakteristik
yang diminta, dari organisme indikator (Abel, 1989 dalam Maulana, 2010).
Spesies indikator merupakan
organisme yang dapat menunjukkan kondisi lingkungan secara akurat, yang juga
dikenal dengan bioindikator. Makrozoobentos (seperti polychaeta)
merupakan indikator yang baik untuk kualitas air lingkungan laut karena
respon mereka terhadap polutan dapat dibandingkan terhadap sistem air
tawar. Polychaeta dikenal sebagai organisme yang sangat toleran terhadap
tekanan lingkungan (seperti rendahnya kandungan oksigen, kontaminasi organik di
sedimen dan polusi sampah) sehingga mereka digunakan sebagai indikator
lingkungan yang tertekan.
III. METODE PENELITIAN
3.1.
Lokasi dan
Waktu Penelitian
Lokasi dalam penelitian ini berada di kawasan Sungai
Jalur 25 Kecamatan Air Sugihan OKI. Sedangkan waktu penelitiannya pada bulan September
2011 sampai selesai.
3.2.
Metode Penelitian
Penelitian
ini bersifat deskriptif yang bertujuan untuk membuat gambaran atau deskripsi
tentang keanekaragaman jenis makrozoobentos di sungai jalur 25 Kecamatan Air
Sugihan OKI. Selaih itu, penelitian ini juga menggambarkan kondisi fisio-kimia
sungai jalur 25 yang mempengaruhi keanekaragaman jenis makrozoobentos seperti:
kedalaman air, suhu air, kekeruhan air, jenis substrat pada dasar sungai,
oksigen yang terlarut dalam air dan keasaman air (pH air).
3.3.
Populasi
dan Sampel
3.3.1.
Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua jenis
makrozoobentos yang ada di Sungai Jalur 25
Kecamatan Air Sugihan OKI.
3.3.2.
Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah semua jenis
makrozoobentos yang dapat tertangkap pada alat keruk Ekman grab
Titik pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan
secara subyektif yaitu pengambilan dilakukan pada dasar perairan yang merupakan
habitat makrozoobentos. Pengambilan sampel makrozoobentos dilakukan dengan
menggunakan metode purposive random
sampling. Sampel diambil dari tiga stasiun pengamatan, Stasiun I pada muara
Sungai Jalur 25, stasiun II di wilayah
Desa Muktijaya dan stasiun III di ujung Jalur 25 (wilayah Desa Sri Jaya Baru).
Dari tiap stasiun diambil 3 titik dengan masing-masing 3x ulangan pada substrat
dasar perairan. Pengambilan sampel dilakukan pada siang hari sebanyak 3x selama
3 minggu, dengan selang waktu 1 minggu. Hal ini untuk mengambil sampel ynag
kemungkinan belum terambil sebelumnya (Darojah, 2005).
3.4.
Pengukuran Parameter Fisika Kimia
3.4.1 Temperatur
Air diambil, kemudian dituang ke dalam erlenmeyer dan diukur dengan
menggunakan termometer air raksa yang dimasukkan ke dalam air selama ± 10 menit
kemudian dibaca skalanya.
3.4.2 Kecepatan Arus
Diukur dengan menggunakan gabus yang diapungkan pada permukaan air,
kemudian dengan menggunakan stopwatch dicatat waktu yang dibutuhkan untuk
sampai jarak tertentu.
Kemudian
dilakukan perhitungan sebagai berikut:
Kec. Arus (V) = S/T
Keterangan : V = Kecepatan arus (cm/dt)
S = Jarak (cm)
T = Waktu (dt)
(Helmizuryani, 2010)
3.4.3
Kekeruhan
Kekeruhan diukur dengan
menggunakan keping sechii yang dimasukkan ke dalam badan air sampai keping
sechii antara terlihat dengan
tidak, kemudian diukur panjang talinya yang masuk ke dalam air.
3.4.4 pH Air
pH diukur dengan menggunakan pH meter dengan cara memasukkan pH meter ke
dalam sample air yang diambil dari dasar perairan sampai pada pembacaan pada
alat konstan dan dibaca angka yang tertera pada pH meter tersebut.
3.4.5 Oksigen Terlarut (Disolved Oxygen, DO)
Disolved Oxygen (DO) diukur dengan menggunakan DO meter. Sample air diambil
dari permukaan air tanpa gelembung dan dimasukkan ke dalam botol winkler,
setelah 5 menit dibaca skalanya.
3.4.6 Kebutuhan Oksigen Biokimia (Biochemical Oxygen Demand, BOD5)
Pengukuran BOD5 dilakukan dengan menggunakan DO meter. Sample
air yang diambil dari dalam air dimasukkan ke dalam botol dan diinkubasi dalam
inkubator pada suhu 20°C, lalu diukur oksigen terlarutnya dengan menggunakan DO
meter. Nilai BOD5 yaitu DO yang diukur saat hari pertama dikurangi
dengan nilai DO setelah hari terakhir.
Nilai BOD = nilai DO awal – nilai DO akhir
(Michael,
1984 ; Suin, 2002 dalam Tarigan,
2009)
3.4.7 Kebutuhan Oksigen Kimia (Chemical Oxygen Demand, COD)
Pengukuran COD dilakukan dengan Metoda Refluks di
Laboratorium Badan Lingkungan Hidup Palembang. Langkah
pengukurannya dapat dilihat pada gambar 2.
3.4.8 Substrat Dasar
Sampel substrat dari perairan, dibawa ke Laboratorium Badan Lingkungan
Hidup untuk di analisis.
3.5.
Langkah-langkah pengambilan sampel makrozoobentos
Pengambilan sampel makrobentos di dasar dengan
menggunakan alat keruk Ekman grab. Pemilahan dilakukan dengan tangan
meskipun merupakan cara yang memakan waktu untuk menganalisis sampel. Pengeruk Ekman
secara khusus cocok untuk pengambilan sampel dasar yang lunak dan
berlumpur. Pengeruk Ekman ini adalah alat standart yang digunakan secara
luas untuk studi kuantitatif dasar lunak (Darojah, 2005)
Cara penanganan sampel
makrozoobentos
a.
Sampel dari
masing-masing substrat berikut hewan makrozoobentos yang terdapat dalam alat
keruk Ekman grab ditumpahkan ke dalam ember berisi air.
b.
Substrat disaring
dengan menggunakan saringan yang mempunyai lebar lubang dengan ukuran 0,5 mm.
c.
Material yang
tertinggal disortir dengan tangan dan makrozoobentos yang ditemukan ditampung
dalam botol kemudian diberi alkohol 70%.
d.
Identifikasi
makrozoobentos di laboratorium Biologi dengan menggunakan buku panduan
Taksonomi Hewan dan Zoologi Invertebrata.
3.6. Perhitungan Data
3.6.1.
Kelimpahan Individu Makrozoobentos
Kalimpahan individu hewan bentos dapat diketahui
dengan menghitung jumlah kepadatan individu per satuan luas atau volume (Brower
et al, 1990 dalam Susanna, 1998). Pada penelitian ini, kelipahan individu
diukur berdasarkan jumlah individu tiap volum substrat menggunakan rumus
sebagai berikut:
D =
3.6.2.
Keanekaragaman Jenis
Keanekaragaman jenis makrozoobentos dapat dihitung
dengan menggunakan indeks keanekaragaman menurut Shannon-Wiener ( Michael,
1995) dengan rumus yaitu:
Keterangan:
ni = nilai kepentingan untuk setiap jenis ( jumlah
individu tiap jenis)
ln = logaritma Nature
N = nilai kepentingan total ( jumlah semua individu
tiap jenis)
Hardjosuwarno (1990) menyatakan bahwa indeks
keanekaragaman H terdiri dari beberapa kriteria yaitu:
3.6.3.
Kemerataan
Untuk mengetahui kemerataan jenis-jenis makrozoobentos
di suatu tempat dapat diketahui dengan menggunakan indeks kemerataan dan
Evenness (e) (Odum, 1993) dengan rumus yaitu:
e =
Keterangan:
S = banyaknya jenis pada zona yang ditentukan
Dengan kriteria:
Kemerataan dinyatakan tinggi jika nilai e = 1
3.6.4.
Dominansi
Untuk mengetahui dominansi komunitas digunakan indeks
dominasi (Odum, 1993) dengan rumus yaitu:
C =
Keterangan:
ni = nilai kepentingan untuk setiap jenis (jumlah
individu tiap spesies)
N = nilai kepentingan total (jumlah semua individu
tiap spesies)
Dengan kriteria:
Dominasi dinyatakan tinggi jika nilai C
= 1.
3.7. Analisis Data
Hasil
dari perhitungan data akan di deskripsikan untuk memperoleh gambaran
keanekaragaman jenis makrozoobentos dan hubungannya dengan sifat fisio-kimia
sungai jalur 25. Penilaian kualitas air dapat dilakukan berdasarkan indeks keanekaragaman
Shannon-Wiener(Suwondo, dkk., 2004)
Air tidak tercemar jika indeks
keanekaragaman 3,0
Air
tercemar sedang jika indeks keanekaragaman 1,0-3,0
Air
tercemar berat jika indeks keanekaragaman dibawah 1,0
DAFTAR PUSTAKA
Darojah, Yuyun. 2005. Keanekaragaman Jenis Makrozoobentos di Ekosistem Perairan Rawapening
Kabupaten Semarang. http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi/archives/HASHa1c4.dir/doc.pdf. Diakses tanggal 26 Desember 2010
Helmizuryani. 2010. Studi Kualitas Air pada Kanal
di Kota Terpadu Mandiri (KTM) Rambutan-Parit kabupaten Ogan Ilir untuk
Mendukung Pengembangan Budidaya Ikan dalam Keramba. Tesis. Palembang: Universitas Sriwijaya
Isnaeni, W. 2002. Fisiologi Hewan. Semarang:
Universitas Negeri Semarang
Krebs, C.J. 1985. Ecology : The Experimental
Analysis of Distribution and Abundance. Third Edition. New York: Harper and
Row Publisher Inc.
Maulana, Fauzan. 2010. Pemanfaatan Makrozoobentos Sebagai Indikator Kualitas Perairan Pesisir. http://ojanmaul.wordpress.com/2010/10/05/pemanfaatan-dan-potensi-makrozoobentos-sebagai-indikator-kualitas-perairan/. Diakses tanggal 20 Desember 2010
Michael, P. Metode
Ekologi Untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium. Dialihbahasakan oleh
Yanti R. Koestoer dan Sahati Suharto.1995. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia (UI-Press)
Nybakken, J.W. 1998. Marine biology: An ecological
approach. Fourth edition. USA: Addison-Wesley Educational Publishers
Inc.
Odum, E.P. Dasar-dasar Ekologi. Dialihbahasakan
oleh Tjahjono Samingan 1993. Edisi Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Onrizal.
2005. Ekosistem Sungai Dan Bantaran
Sungai. Medan:Universitas Sumatra utara
Pratiwi, N, Krisanti, Nursiyamah, I. Maryanto, R.
Ubaidillah, & W. A. Noerdjito. 2004. Panduan Pengukuran Kualitas Air
Sungai. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
PT. SAT WINDU UTAMA, 2009. Pekerjaan Enginering Design
(DED) Pengerukan Alur Pelayaran di Kanal Air Sugihan Kanan (Sumatra Selatan). http://www.google.co.id. Diakses tanggal 21 Maret 2011
Setyobudiandi, I. 1997. Makrozoobentos. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Silviawaty, 1996. Komunitas Hewan Bentos di Sungai Air
Bemban Desa Kertadewa Kecamatan Dempo Selatan Kabupaten Lahat dan Pengajarannya
di Sekolah Menengah Umum. Skripsi.
Palembang: FKIP Universitas Sriwijaya
Sinaga,
Tiorinse. 2009. Keanekaragaman Makrozoobentos Sebagai Indikator Kualitas
Perairan Danau Toba Balige Kabupaten Toba Samosir. Tesis. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Susanto, P. 2000. Pengantar Ekologi Hewan. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.
Suwondo, Elya Febrita, Dessy dan Mahmud Alpusari. 2004. Kualitas Biologi Perairan Sungai Senapelan, Sago dan Sail
di Kota Pekanbaru Berdasarkan Bioindikator Plankton dan Bentos. Jurnal Biogenesis. 1(1):15-20
Tarigan, L. C. 2009.
Studi Keanekaragaman Makrozoobentos di Danau Lau Kawar Desa Kuta Agung Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo. Skripsi. Medan: USU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar